Terjaring Lagi dan Lagi, Penjual Tisu di Flyover Gatsu Jadi Bukti Celah Koordinasi Penanganan Sosial

SINARBANUA.COM, BANJARMASIN — Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Banjarmasin kembali mengamankan seorang penjual tisu yang beraktivitas di kawasan Simpang Empat Flyover Gatot Subroto (Gatsu), Selasa (2/12/2025). Padahal, yang bersangkutan baru saja diamankan pada Minggu (30/11/2025) dan diserahkan ke Dinas Sosial (Dinsos) untuk pembinaan, namun dalam hitungan jam sudah kembali lagi ke titik yang sama.

Penertiban hari ini dipimpin oleh Korlap Satpol PP, Indra Jaya, setelah pantauan petugas melaporkan bahwa penjual tisu tersebut kembali menghadang pengendara di bawah flyover. Petugas kemudian melakukan pemeriksaan serta interogasi di lokasi.

Kepada petugas, penjual tisu itu mengaku bahwa setelah diserahkan ke Dinsos pada hari Minggu, dirinya langsung keluar tanpa pembinaan lebih lanjut.

Korlap Indra Jaya menegaskan bahwa Satpol PP telah menjalankan seluruh prosedur secara resmi.
“Kami serahkan ke Dinsos sesuai prosedur. Tapi kalau langsung dilepas begitu saja, mereka pasti kembali ke jalan. Ini sudah jelas-jelas orang yang sama dan kasus yang sama,” ujarnya.

Satpol PP Banjarmasin menyampaikan bahwa penertiban penjual tisu dan aktivitas sejenis dilakukan untuk menjaga keselamatan pengguna jalan mengingat aktivitas di persimpangan rawan menimbulkan kecelakaan.

“Kami bukan menghukum. Kami mengamankan demi keselamatan warga dan dirinya sendiri. Kalau pola pembinaan tidak kuat, maka siklus seperti ini akan terjadi setiap minggu,” tegas Indra Jaya.

Satpol PP juga mengimbau perlunya penguatan koordinasi lintas instansi.
“Penanganan sosial tidak bisa selesai hanya dengan pendataan dan pelepasan cepat. Kami berharap Dinsos memperkuat SOP pembinaan agar ada perubahan nyata di lapangan,” tambahnya.

Penertiban Berulang yang Membuka Lubang Sistem

Kasus yang berulang ini menyoroti celah penanganan sosial yang belum tuntas.
Setiap kali Satpol PP menertibkan, kota seperti mengulang episode lama: diamankan—diserahkan—keluar—kembali ke jalan.

Ini bukan lagi soal pelanggar yang keras kepala, tapi soal sistem yang terlalu longgar.

Jika warga binaan bisa keluar dalam hitungan jam tanpa asesmen, tanpa pengawasan, dan tanpa intervensi sosial, maka penertiban hanya menjadi rutinitas administratif, bukan solusi jangka panjang.

Di lapangan, petugas sudah bekerja berkali-kali. Yang kurang adalah kebijakan pembinaan yang kuat dan terukur. Tanpa itu, kota seperti hanya memadamkan api tetapi tidak menutup sumber apinya.

Kondisi ini perlu menjadi bahan evaluasi serius bagi instansi sosial, petinggi kota, serta pemangku kebijakan agar penanganan sosial di Banjarmasin tidak lagi menjadi lingkaran setan.

“Kota Banjarmasin membutuhkan sistem pembinaan sosial yang tidak sekadar melepaskan warga binaan, tetapi membimbing mereka keluar dari pola hidup jalanan.”

“Instansi sosial perlu memperkuat SOP, termasuk durasi pembinaan, asesmen kesehatan mental, dan pemantauan lanjutan.”

“Selama pintu pembinaan terbuka terlalu lebar, petugas di lapangan akan terus menangani orang yang sama dalam kasus yang sama.” (SB)