Wawancara Direktur Eksekutif PETAK, H. Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH saat investasi di salah satu lokasi pertambangan batubara, Kamis (28/01/2015).

sinarbanua.com; Kalsel | INVESTIGASI LSM di bawah koordinator Pemerhati Tambang dan Korupsi (PETAK) ke sejumlah lokasi pertambangan batubara di daerah Kalimantan Selatan ditemukan penampakan bentang alam terbuka lebar yang hancur berantakan, bahkan dampak eks tambang batubara tersebut menghasilkan ribuan danau-danau tak bertuan. Hal demikian diuraikan langsung dalam keterangan persnya oleh Direktur Eksekutif PETAK, H. Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH kepada sejumlah awak media, Kamis, (28/01/2015) seusai memantau di salah satu lokasi eks tambang batubara di Desa Rantau Nangka, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

“Dalam seminggu ini kami keliling investigasi ke beberapa tempat lokasi pertambangan. Berawal ke daerah Tanah Bumbu, hari berikutnya berlanjut ke wilayah Kabupaten Tanah Laut, Banjar, Tapin, sampai ke daerah Balangan dan Kabupaten Tabalong,” kata Aspihani.

Foto salah satu danau tak bertuan di wilayah Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar eks tambang batubara (dokumen investigasi LSM PETAK)

Menurut tokoh pergerakan dan pencetus pemekaran wilayah Kabupaten Gambut Raya ini, dari investigasi yang di lakukan menemukan perkiraan mencapai ribuan danau tak bertuan di duga akibat aktivitas pertambangan baik ilegal maupun legal.

Dugaan kami bahwa danau-danau tersebut terciptanya oleh maha karya sejumlah perusahaan tambang batubara yang berskala besar maupun kecil, baik legal maupun aktivitas tambang batubara yang memiliki ijin resmi yaitu ilegal,” kata Aspihani.

Ditemukannya danau-danau tersebut, beber Aspihani indikasinya di lakukan oleh seperti di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu adanya pertambangan skala besar yang legal oleh PT Arutmin Indonesia (AI), PT Tunas Inti Abadi (TIA), PT Borneo Indobara (BIB), PT Angsana Jaya Energi, PT Sungai Danau Jaya , CV. Hidup Hidayah Ilahi, PT Putri Ahdadia, PT Satui Terminal Umum, PT Tanah Bumbu Resources, PT Prolindo Cipta Nusantara, PT Saraba Kawa, CV Mandiri Makmur Citra Tambang dan lain-lain.

Juga perusaan tambang batubara di wilayah kabupaten Tanah Laut seperti PT Amanah, PT Anugerah Lumbung Energi, PT Pribumi Citra Megah Utama, PT Borneo Tala Utama, PT Duta Dharma Utama dan lain-lainnya.

Selanjutnya tokoh aktivis LSM Kalimantan ini juga membeberkan perusahaan tambang batubara di wilayah kabupaten Banjar seperti PT Banjar Bumi Persada, PT Intan Karya Mandiri (IKM), PT Madani, PD Baramarta, PT Aero Mandiri, CV Intan Karya Mandiri, PT Gunung Limo, PT Indomarta Multi Mining, CV Banjar Global Mining, CV Cinta Puri Pratama, CV Makmur Bersama, PT Amanah Batu Alam Persada dan lain-lainnya.

Sedangkan sejumlah perusahaan tambang batubara di wilayah Kabupaten Tapin, lanjut Aspihani diduga kuat di lakukan oleh PT Bhumi Rantau Energi, PT Energi Batubara Lestari, PT Binuang Mitra Bersama, PT Berkat Murah Rejeki, KUD Makmur, PT Binuang Mitra Bersama, PT Putra Banua Tapin dan lainnya, serta KUD Karya Murni di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Tak hanya akibat tambang batubara ini membuat danau-danau tak bertuan, lanjut mantan anggota DPRD Banjar 2004-2009 ini, juga ada sebuah perusahaan pertambangan yang beroperasi di bawah tanah (underground mining) milik PT Merge Mining Industry (MMI).

“Aktivitas underground tersebut mengakibatkan tanah retak-retak di sekitar lokasi aktivitas pertambangan. DPRD dan Bupati Banjar wajib jeli melihat kondisi ini, jangan diam saja seribu bahasa,” harapnya.

Menurut data yang di dapatkan, ujar Aspihani, PT Merge Mining Industry (MMI) tersebut merupakan sebuah perusahaan tambang bawah tanah milik asal dari negeri Tiongkok yang mendapatkan persetujuan dari Kementerian ESDM RI dengan status IUP Penanaman Modal Asing (PMA) yang beroperasi di wilayah Kabupaten Banjar.

Adanya usaha tambang batubara tersebut, membuat lahan yang dulunya hutan, perbukitan, perkebunan atau pertanian, berubah drastis tanpa vegetasi dan dipenuhi lubang-lubang.

“Meskipun ratusan janji-janji perusahaan diucapkan maupun jaminan pemerintah untuk reklamasi, kenyataannya sangat sedikit bentang alam yang dikembalikan utuh seperti kondisi semula sebelum adanya aktivitas pertambangan”. ujar Alumni Magister Hukum Unisma – Malang ini.

Diantara Kabupaten yang paling parah akibat dampak pertambangan batubara di Kalimantan Selatan (Kalsel) adalah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Bumbu.

“Investigasi yang kami lakukan di wilayah ini banyak dijumpai bekas-bekas galian tambang yang ditinggalkan begitu saja bak danau tak bertuan,” tuturnya.

Jika kita melihat, akibat reklamasi tidak dijalankan dengan benar dan ataupun tidak sungguh-sungguh sebagaimana mestinya, maka sangat berdampak buruk terhadap lingkungan dan warga disekitarnya.

Dampak yang lazim kita lihat adalah sering nya terjadi banjir, juga danau-danau eks tambang tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menyebabkan kematian seseorang.

“Saya yakin lima tahun ke depan, kalau reklamasi tidak jalan, Kalimantan Selatan bakal mendapatkan dampak ujian besar yaitu banjir besar, selain itu pula bisa saja menagih kurban kematian. Iya kan itu bisa saja terjadi, seseorang kecebur dan tengelam di danau tersebut yang berujung kematian,” terangnya.

Karena, tutur Aspihani, mayoritas danau-danau hasil maha karya perusahaan tambang batubara tersebut memiliki kerukan yang cukup dalam.

“Berbicara dari segi reklamasi eks tambang tidak maksimal di laksanakan sebagaimana mestinya, mereka juga mengabaikan penyaluran Corporate Social Responsibility atau yang disingkat dengan istilah CSR sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada”.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengamanatkan agar perusahaan wajib menyalurkan CSR, hal itu diamanahkan pada Pasal 74 ayat (1) yang berbunyi : “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”.

Menurut deklarator dan koordinator pemersatu ratusan LSM di Kalimantan ini, kewajiban melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) ini juga sejalan dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang bunyinya : “Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan”.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan ini menjadi kewajiban bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang pertambangan yang berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan undang-undang.

Melihat kekhususan pelaksanaan CSR sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang terdapat pada Pasal 108 ayat (1) bahwa perusahaan tambang batubara juga berkewajiban menyusun program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat bersama pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan warga sekitar.

Selain itu juga, suguh Aspihani, bahwa tanggung jawab sosial perusahaan diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 juga pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012.

Berbicara dunia pertambangan ilegal, tambah Aspihani, pemerintah harus benar jeli melakukan pengawasan, karena aktivitas yang mereka lakukan jelas berdampak buruk bagi lingkungan sesudah pertambangan itu di lakukan.

Seharusnya, kata aktivis yang gencar berdemo ini menyampaikan, para pelaku usaha tambang batubara tersebut, sebelum melakukan kegiatan usahanya, wajib memiliki izin terlebih dahulu.

Setiap usaha pertambangan, tegas Aspihani, harus mempunyai izin, itu semua di atur pada Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Penambang legal itu, selain kewajibannya mengeluarkan CSR, perizinan lainnya juga harus di penuhi. Ya seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) lah, ini kan merupakan izin yang diberikan untuk melakukan usaha pertambangan di dalam sektor pertambangan mineral dan batubara,” tutupnya. (H@tim)

Tinggalkan Balasan